Minggu, 27 September 2015

TREN BATU AKIK

Dulu Booming, Sekarang Pusing



Dijual batu liontin 12 biji borongan 300rb saja. Batu cincin 33 biji cuma 350rb, lokasi Tugu Jogja. Minat hubungi 081904xxxxxx

BEGITU bunyi iklan yang ditawarkan lewat Facebook (FB) lengkap dengan foto yang memperlihatkan puluhan batu yang dijual oleh pengelola FB beberapa hari lalu.
IKlan-iklan semacam ini pun sering kita temui di berbagai media sosial, yang rata-rata menawarkan harga murah meriah beragam macam batu akik dari berbagai penjuru. Padahal sebelumnya harga yang ditawarkan jauh di atas harga yang diobralkan sekarang. Booming batu akik turun. Dulu Booming, Sekarang sempat bikin Pusing.
Pertanyaan inilah yang kemudian banyak dilontarkan, bukan saja masyarakat pembeli tetapi juga pelaku usaha, pedagang dan perajin batu akik. Tak cuma batu, pasar cangkang (emban) pun ikut terperosok keadaan. Kalau biasanya emban Titanium bisa dijual hingga Rp 70 ribu, kini terjun ke harga Rp 35 ribu.
Di Pasar Anyar, Jalan Dewi Sartika Jakarta salah satunya. Penjualan menurun hingga 70 persen sudah dirasakan pada bulan Juni lalu. Penjual batu akik, Fendi (43) menuturkan, salah satu indikasi menurunnya minat batu akik adalah penurunan jumlah penjualan ring atau gagang batu akik.
Selain sepi peminat, bahan baku juga mulai sulit didapat. Terutama bahan baku yang nilainya mahal atau berkelas. Seperti batu akik bacan, lavender, suliki payakumbuh, biosolar aceh, belimbing, dan neon aceh.
Demikian pula pusat batu akik terbesar di Indonesia, di Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur. Seorang pedagang menyebut demam batu akik yang dulu terjadi, saat ini mulai meredup dan membuat omset penjualan mereka turun drastis hingga mencapai 90 persen.
Ridwan (47) pedagang batu akik di Pasar Rawa Bening, mengatakan dagangannya tak lagi laku seperti dulu.
“Dulu sehari bisa dapat Rp 50 juta, sekarang dapat Rp 5 juta saja sudah bersyukur,” katanya belum lama ini seperti dilansir Poskotanews.
Menurut Ridwan, turunnya penjualan batu akik sudah terjadi pasca Lebaran. Namun setelah itu, pengunjung pusat batu akik terbesar ini terus berkurang.
“Setiap hari semakin sepi, yang datang pun bisa dihitung. Beda dengan beberapa waktu lalu yang untuk jalan saja susah karena banyaknya pengunjung,” ungkapnya.
Ridwan menyebut turunnya omset penjulan tidak terjadi secara berangsur-angsur. Namun, omset penjualan langsung turun drastis dan membuat para pedagang kebingungan.
“Ini batu yang baru dibeli beberapa bulan lalu saja masih ada. Biasanya paling lama hanya dua minggu stok barang saya habis,” tuturnya.
Ketua Umum Koperasi Pasar Rawa Bening, H. Darto Caswan menilai, terjadinya penurunan penjualan karena selama ini batu yang masuk ke Jakarta sudah tak terhitung. Bahkan, beberapa warga negara asing juga ikut menawarkan batu. “Karena mereka (WNA) juga hukum pasar tidak berjalan. Karena batu menumpuk dan harga pun menjadi tak terkendali,” ujarnya.
Dikatakan Caswan, sepinya penunjung yang datang, membuat kawasan pasar Rawa Bening, kembali seperti sedia kala. Dimana mereka yang datang hanya merupakan para pencinta batu akik yang benar-benar cinta akan seni dan keindahan dari batu tersebut. “Batu itu tidak pernah ada habisnya, hal inilah yang masih menjadi kebutuhan para pecinta batu,” ungkapnya.
Data kuartal pertama 2015 silam juga menunjukkan tingkat pembelian batu giok dan akik di Aceh mulai mengalami penurunan. Pedagang maupun pecinta batu mengeluh omzet mereka menurun drastis dibanding bulan sebelumnya. Padahal saat itu, booming masih dirasakan di berbagai daerah, tak terkecuali Yogyakarta.
Sekjen Pecinta Batu Aceh, Hendro, mengatakan, permintaan batu giok biasa di Banda Aceh memang menurun drastis dibanding saat baru-baru booming batu Aceh. Sedangkan untuk batu berkualitas super, tingkat pembeliannya masih tetap.
"Pasar mulai jenuh sekarang, pembelinya mulai sepi. Tapi kalau yang kualitas super masih tetap ada karena hanya orang-orang tertentu yang membeli," kata Hendro kepada wartawan seperti dikutip situs online nasional.
Pasar batu memang tak hanya melulu di pusat perdagangan batu maupun pameran. Pasar online yang semula menjadi lahan basah pedagang batu pun merasakan hal yang sama, sepi. Indikasinya dilihat dari traffic pengunjung yang kian hari makin anjlok.
Di Yogyakarta, meski tak ada sentral batu akik sebagaimana di Jakarta, namun gejala penurunan sebenarnya sudah bisa diprediksi ketika agenda pameran dan bursa batu seperti tak terkendali. Dalam waktu bersamaan bisa digelar pameran batu di tempat yang berbeda. Padahal para pedagangnya bisa dipastikan separoh lebih sama, alias tak ada bedanya. Para pengunjung yang biasanya rela berjubel di arena pameran, lambat laun mulai berkurang.
Penyelenggara pameran dan kontes batu di Jogja Gemstone Center di XT Square Yogya, Dody Aditya mengungkapkan, dibanding awal-awal booming batu mulia/akik, sekarang ini sering terdengar cerita sebagian peserta pameran mengalami penurunan tingkat penjualan. Ia menduga,  pada awal-awal booming banyak konsumen yang membeli dalam jumlah banyak meski belum tahu kualitas/jenis batu, misalnya 10 biji sekali membeli. Dalam perjalanannya lebih mengutamakan kualitas/gengsi, sehingga sekali membeli bisa cukup satu sampai dua biji tapi benar-benar batu berkualitas.
“Agar bisa mendukung tingkat pembelian, di sini kami juga mengadakan bagi-bagi dooprize untuk pengunjung maupun peserta pameran. Rutin juga kami selenggarakan kontes batu,” papar Dody.
Lain halnya dituturkan Priyo Edi Praseto bersama istrinya Yayuk, meski diakui pasar menurun, tapi hal itu dianggapnya biasa. Awalnya rutin mengikuti pameran dari satu tempat ke tempat lain seperti di KR, XT Square dan JEC. Sebagai pedagang, Priyo mengaku sudah hal biasa mengalami sepi maupun ramai. Agar tidak merasa capek, akhirnya memilih sewa stan menetap di Gedung C2 XT Square.
Lain halnya dengan Jhony Petra mengaku selepas Idul Fitri lalu sudah merasakan tanda-tanda tingkat penjualan batu akik/mulia dan asesorisnya mengalami penurunan.
“Menurut saya ada banyak faktor menurunnya tingkat penjualan batu mulia maupun akik di pameran, antara lain banyak pedagang dari Jakarta turun ke Yogya seperti dengan menyewa ruko untuk berjualan batu. Banyaknya pameran dan bursa batu di berbagai tempat saling bebarengan juga ikut berpengaruh,” keluh Jhony. (Aja/Yan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar