Minggu, 13 September 2015

Hidayah

Keikhlasan Guru Ngaji

Berbonus ke Tanah Suci

ANEH memang, seringkali orang-orang berani membayar relatif mahal kepada guru privat bahasa Inggris. Sebaliknya mereka membayar ala kadarnya kepada guru ngaji. Di sisi lain guru ngaji pun tidak pernah menentukan tarif ketika ia memberikan amalannya kepada siapa pun yang belajar mengaji kepadanya.
Seperti halnya guru ngaji Umi Solehah (39, samaran) selalu berlapang hati manakala kepadanya diberikan sekadar ‘uang lelah’ mengajar mengaji anak-anak kampung, maupun anak perorangan (privat).
“Dikasih syukur, tidak dikasih juga ndak mengapa,” ujar Umi suatu ketika menjawab sentilan Sohibnya, Badriyah (36, samaran).
Sentilan Badriyah tak menggoyahkan keikhlasan. Umi setiap hari mengajar mengaji anak-anak. Kegiatan yang telah diakukan bertahun-tahun itu memang tak membuatnya kaya. Hidup apa adanya bersama suami pedagang burung di setiap hari pasaran di berbagai pasar.
“Terus sampai kapan kamu mau begitu? Lihat tuh Ningsih (33, samaran) menjadi guru les Bahasa Inggris selama 5 tahun tapi sudah punya mobil,” kejar Badriyah.
Tapi Umi bergeming. Baginya, menjadi guru ngaji bukan untuk memperoleh kekayaan. Tapi bagian dari ibadah dan kerja sosial. Itulah satu-satunya ‘kebanggaan’ yang dimiliki alumnus Madrasah Aliyah ini.
Selain mengajar ngaji anak-anak kampung, dia pun sudi mengonthel sepedanya menuju rumah-rumah mewah. Di dalam rumah mewah itulah ia mengajar ngaji anak-anak pejabat lokal. Lebih dari lima pejabat menggunakan jasanya untuk mengajar mengaji anak-anaknya secara begiliran.
Seminggu tiga kali, rata-rata mereka hanya memberikan uang jasa Rp 20.000-Rp 30.000 setiap kali kedatangannya.
“Nah tuh bayangkan, sekali datang cuma Rp 20.000. Padahal harus ngonthel. Mbok kamu pasang tarif, gitu loh,” goda Badriyah pada kesempatan lain.
Badriyah selalu menggoda, seakan tidak terima jika sohibnya diperlakukan para pengguna jasa sedemikian murahnya. Namun lagi-lagi, Umi hanya senyum manakala diingatkan begitu.
“Sudahlah. Jangan bandingkan saya dengan kiai kondang dan lain-lainnya. Saya cuma guru ngaji biasa. Saya sudah sangat bangga dan bahagia bisa memberikan ilmu kepada orang lain. Karena hanya dengan inilah saya merasa menjadi manusia. Dan ingat, tuhan maha bijak,” agak diplomatis jawaban Umi.
***
Umi terus mengaji di sela-sela kesibukan lain setiap harinya membantu membersihkan sangkar-sangkar burung dagangan suaminya. Anak-anaknya pun tetap terjaga pendidikan formil dan moralnya karena selalu dalam pengawasan dirinya.
Hingga suatu hari tiada disangka datang kepadanya sepasang suami istri pebisnis jamu impor, Badrun dan Badi’ah (samara). Mereka meminta Umi mengajar ngaji  3 anak mereka yang masih SD, setiap hari sehabis magrib.
Tanpa disangka, Umi memperoleh bayaran Rp 5 juta sebulan. “Subhanallah…” gumamnya sembari meneteskan airmata.
Peristiwa lima tahun lalu ini sangat menginspirasi sejumlah orang yang menggunakan jasanya. Diam-diam mereka merasa malu memberikan hanya sedikit uang jasa ngaji. Mereka perlahan membayar agak besar uang jasa itu kepada Umi.
“Alhamdulillah, Alhamdulillah. Maha besar Allah,” ucap Umi ditimpali suaminya ketika suatu hari Badrun dan Badi’ah, pasangan suami istri pengusaha tadi menyatakan segera memberangkatkan ibadah haji.
Ya, Umi dan suaminya diberangkatkan gratis menunaikan ibadah haji. Sepulang dari saja, mereka beroleh kecerahan hidup secara moril maupun materiil. Memperoleh tambahan modal dan memperbesar penangkaran burung, berikut kios pakan dan sangkar burung yang berkembang cabangnya di sudut-sudut kota. Hingga kini, dan mungkin hingga nanti. (Met)    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar