Meretas Jalan Sesat Berkat Silaturahmi Kiai
BERKAT hidayah, itulah yang diyakini Alan (50-samaran), sehingga dirinya bisa membangun masjid di perkampungan kumuh yang dihuni warga dengan ragam pekerjaan sesat, dari pencopet, maling antarkota, perampok, pelacur hingga mafia narkoba.
“Revolusi mental,” ujar Alan dalam wawancaranya dengan sebuah surat kabar berkaitan dengan kunjungan bupati saat peresmian masjid.
Maka terungkaplah, mulanya ia seorang perampok antarprovinsi. Menjadi perampok lantaran lingkungan keluarga dan kampungnya. Saat masih kecil ia sudah lihai nyopet di setiap keramaian seperti pentas dangdut, pertandingan sepak bola, dan sejenisnya. Menginjak remaja menjadi bos para penodong sembari agen besar narkoba dan miras impor. Ini berlanjut sampai usia 40-an. Dan penjara bagian dari tempat tinggalnya. Ia mantan napi sejumlah kasus kejahatan besar.
Keberanian dan kehebatannya bergelut tak diragukan. Kecerdikan dan kecerdasannya menjadikan dirinya sering dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan elit politik. Tak jarang pula menjadi informan aparatur penegak hukum.
Tak satu pun orang di kampung itu yang disegani Alan, kecuali Kiai Hardi. Kepada kiai lembut inilah ia selalu menundukan muka. Bukan apa-apa, melainkan sosok tersebut justru sering bertandang ke rumah Alan sekadar ngobrol yang tak ada urusannya dengan nasihat apa pun.
Dengan sikap seperti itu, Alan justru menghormatinya. Bahkan seringkali memberikan buah tangan atau pun uang tunai dalam jumlah besar, meski pun sang Kiai kemudian menolaknya.
***
“Pak Kiai, sebenarnya saya sudah bosan hidup seperti ini. Sekarang duit yang dating ke saya. Ya dari setoran semua anak buah saya. Istri pun sudah tiga. Apa saja yangsaya inginkan telah terlaksana,” ujar Alan suatu hari.
Kiai Hardi manggut-manggut, sebelum akhirnya memberikan wejangan paling berharga. “Jangan tanya ke saya, tapi tanya saja ke Allah,” ujar Kiai, singkat.
Alan bengong. Ia merasa menjadi bodoh.
“Maksud pak Kiai”
“Ya tanyakan sama Allah. Kamu punya Allah tidak?” lagi-lagi pak Kiai membuat Alan kian mnerasa bodoh.
“Iya, saya punya Allah,” balas Alan.
“Apa bukti kamu punya Allah?” tukas Kiai Hardi.
Alan merasa terpukul oleh pernyataan itu. Ia sontak berdiri, lalu menuju kamar mandi berwudu, dilanjutkan salat Isyak. Inilah salah pertama setelah selama 30 dirinya tidak salat.
“Pak kiai, saya sudah salat. Itulah bukti saya punya Allah,” buru-buru Alan mengucapkan hal itu setelah rampung salat.
“Bagus. Kalau kamu menjalankannya lima waktu sehari, dan dilakukan sejak sekarang, ditambah tahajud, belajar baca Quran. Itulah awal kamu menuju bahagia,” kata kiai Hardi sebelum akhirnya pamit.
***
Takjub. Itulah yang dirasa Kiai Hardi pada keesokan hari di subuh yang dingin. Sebab di saf terdepan surau kecil didapati sosok Alan sedang bersila menanti adzan tiba. Ia kemudian salat subuh.
Sejak itulah surau kian dijubeli jamaah. Kebanyaka adalah wagra yang selama ini menjadi anak buah Alan. Suasana demikian berlanjut hingga tahun kelima.
Kabar menyebutkan, Alan benar-benar telah tobat, diikuti para anak buahnya. Kabar terakhir menyatakan semua harta kekayaan Alan segera diwakafkan ke pengurus masjid, dimana dia sendiri kini menjadi bendaharanya. Sehingga jadilah masjid itu, dan kini sekaligus mengubah identitas kampung sesat menjadi kampung bertabur cahaya ilahi terutama berkat ketokohan Kiai Hardi yang sanggup meluluhkan keberingasan Alan melalui jalan silaturahmi. (Met)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar