Sabtu, 15 Agustus 2015

Cerpen Koran Merapi 9 Agustus 2015


Laki-laki Yang Dilukai Sebuah Kisah

Cerpen: Ahmad Muchlish Amrin



Sudah bermalam-malam aku terjaga dan berhari-hari aku terlena pada semerbak kamboja di luar jendela--- Ia seperti mengigau. Hari-harinya menjadi murung. Tak terlihat lagi menyiuli pagi di dekat sangkar burung. Orang-orang di dekatnya sangat cemas. Tersebab lambat laun tubuhnya lintuh dan lemas.
Matanya kian redup seolah-olah ia kehilangan harapan hidup. Tapi tak ada yang tahu, apa yang menyebabkannya terus termangu. Hanya saja, suatu waktu di saat aku berada di dekatnya, ia sempat mengumpat seseorang.
“Brengsek! Guru brengsek!” ia meludah ke samping kanan, lalu ia kembali menimpali kata-kata ke udara “Joni brengsek!”
Aku tidak menanggapinya sedikit pun. Kubiarkan ia menumpahkan kebak riak amarah di dadanya. Dan mungkin, dengan cara seperti itu. Ia bisa sedikit lega---itulah yang kupikirkan.
***
“Makanan sudah siap, silahkan sarapan, Kak!”
Wanita paruh baya dengan tahi lalat di dagunya itu mendekatinya. Ia melihatku yang sedang di dekatnya. Sesekali tangannya memintal sebuah benang yang dipegangnya.
“Makan sana!”
Perempuan itu menyuruhku sarapan. Matahari di matanya bersinar terang. Angin angslup di balik kerudungnya yang regang. Tak lama kemudian, ia membalikkan badan. Dari raut mukanya, rasa sedih terasa berkelindan.
Ketika wanita berkulit kuning langsat itu hendak melangkah pergi, aku membuntuti di belakangnya.
“Bi’, sejak kapan paman Iyubenu jadi seperti itu?”
Ia berjalan pelan. Sesekali menoleh ke arahku.
“Aku lupa pastinya. Kira-kira setengah bulan yang lalu. Pamanmu tidak pernah berbicara terbuka padaku. Pada mulanya, ia memang selalu dekat dengan tuan guru Joni.” Bi’ May lancar bercerita dengan alis yang sedikit mengernyit.
Aku baru paham, kenapa ia mengumpat tuan guru Joni. Ia melanjutkan perkataannya “Kadang tuan guru Joni datang ke sini. Ngobrol sampai larut malam. Mereka cekakak-cekikik di amben. Kadang pula pamanmu mengunjunginya. Hanya saja, semenjak satu bulan yang lalu, pamanmu tidak ke sana dan tuan guru Joni pun tidak ke sini. Aku berpikir mungkin saja sedang ada masalah. Tapi setiap usai bertemu dengan tuan guru Joni, terlihat ada yang aneh pada pamanmu. ia terlihat selalu murung.”
“Bibi tidak pernah tanya, mengapa paman bisa seperti itu kepada tuan guru Joni?”
“Sampai saat ini belum pernah. Tentu bibi sangat sungkan untuk bertanya langsung padanya.”
“Bibi kan bisa meminta Dik Hamid untuk ke sana?”
“Adikmu kemarin sempat ingin ke sana. Tapi sampai saat ini masih belum berangkat. Huh! Adikmu itu memang suka menunda, Muchlish.”
Aku terdiam. Langkah kakiku seolah-olah terasa berat. Tuan guru Joni di daerah kami memang sangat dikagumi oleh masyarakat. Bahkan, untuk urusan apa pun di masyarakat kami, pasti meminta nasihatnya. Bukan karena ia cerdas dan alim. Bukan pula karena kepalanya mengkilau plontos. Bukan. Tapi tuan guru Joni memang seorang guru yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat kami.
Bi’ May segera masuk ke dapur. Aku melihat-lihat sebuah lukisan harimau yang terpajang rapi di dinding sebelah utara di ruang tengah. Sementara paman Iyubenu masih duduk di kursi seolah-olah sedang termenung. Tatapannya lurus ke depan. Lurus ke arah kebun-kebun yang hijau.
***
Paman Iyubenu memang terkenal orang baik. Orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya pada heran, mengapa paman Iyubenu jadi linglung. Mungkin saja karena amalan-amalannya yang keliru---begitulah dugaan-dugaan yang berkembang di masyarakat kami.
Aku juga sangat heran. Belum pernah aku mendengar paman Iyubenu mengumpat atau misuh-misuh pada orang lain. Bahkan kesan dari tetangga-tetangganya, belum pernah paman Iyubenu bermasalah dengan orang-orang yang ada di lingkungannya.
Ia rajin ngaji, shalat berjamaah, rajin puasa, dan selalu saja berbagi sedekah. Jika tiba waktu bulan Ramadhan, paman Iyubenu berpuasa penuh, shalat tarawih, I’tikaf di masjid, dan selalu membagi-bagikan paket lebaran kepada masyarakat. Bila tiba waktu idul qurban, ia selalu berkurban. Itulah sebabnya, masyarakat sangat heran, mengapa paman Iyubenu jadi kehilangan harapan hidup.
Kini panam Iyubenu tidak berjamaah lagi di masjid, tidak ngaji, tidak membagi-bagikan sedekah, bahkan yang paling disayangkan, kini ia berhenti shalat. Itu sangat mengerikan, bukan?
Nah, lama-lama mulai terkuak. Ternyata, terakhir kali paman Iyubenu datang ke rumah tuan guru Joni bersama dengan paman Rusdi. Selama ini Paman Rusdi memang belum buka mulut. Ya, mungkin saja ia khawatir ditanya soal ini. Jadi lebih baik tutup mulut.
Di saat aku tahu bahwa paman Rusdi mengerti penyebabnya, aku berusaha datang ke rumahnya. Rumah paman Rusdi tidak terlalu jauh dari rumah paman Iyubenu.
***
Malam semakin gelap. Lampu-lampu tengah yang merumbai telah dinyalakan di rumah paman Rusdi. Aku duduk di ruang tamu. Aku duduk di sebuah kursi kayu yang diukir. Paman Rusdi pun menemaniku. Asap rokok Gudang Garam menggeliat dari mulutnya.
Aku mengatakan padanya, jika kedatanganku ke rumah paman Rusdi atas perintah Bi’ May. Ya, aku pun mengatakan padanya, jika terdengar kabar bahwa terakhir kali paman Iyubenu datang ke rumah tuan guru Joni bersama paman Rusdi.
Dan aku juga menceritakan keadaan terakhir paman Iyubenu. Ia pun sangat kaget. Paman Rusdi ternyata belum tahu keadaan terakhir paman Iyubenu. Ternyata paman Rusdi bukan tutup mulut sebagaimana yang diduga kami sebelumnya. Paman Rusdi memang benar-benar belum tahu. Tapi apakah paman Rusdi benar-benar tidak tahu keadaan paman Iyubenu? Tak ada yang bisa memastikan.
Malam itu---paman Rusdi mulai bercerita. Kami datang berdua ke rumah tuan guru Joni. Aku diajak Iyubenu. Katanya, ia sangat senang sowan ke rumah tuan guru Joni---asap terus mengepul ke udara. Sesekali paman Rusdi menyeruput kopi.
“Orang-orang yang datang ke rumahnya. Pasti terlena akan kisah-kisah yang diceritakan oleh tuan guru Joni.” Lanjutnya.
“Tuan guru Joni ketika itu bercerita tentang seorang lelaki yang kaya raya, ahli ibadah, rajin ngaji, istiqamah puasa, rajin shalat berjamaah di masjid. Tetapi ia tetap dimasukkan ke neraka oleh Allah Swt.”
Aku mengangguk-angguk mendengarkan cerita paman Rusdi. Aku melihat matanya yang begitu semangat menirukan tuan guru Joni. Paman Rusdi melanjutkan kisahnya.
“Sebabnya sang ahli ibadah itu dimasukkan ke neraka adalah karena di kampungnya ada seorang janda muda yang miskin. Si janda itu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, agar apa yang ia makan, minum, dan pakaiannya bisa didapatkan dengan cara yang halal. Tetapi si ahli ibadah itu tidak pernah memperhatikannya. Padahal disamping ia menjadi dhuafa harta, ia sebenarnya juga dhuafa biologis, ia sebenarnya juga ingin menikah. Tapi tidak ada orang yang hendak menikahinya. Dan tentunya, perempuan itu sewajarnya dinikahi oleh seorang yang sholeh yang kaya raya. Nah, karena si ahli ibadah yang bernama Fadhil ini cuek pada wanita itu, maka bagi Allah Swt. tak ada artinya amal ibadah dan amal kesalehannya selama ini.”
Paman Rusdi mengambil bungkus rokok. Ia mengambil satu batang lalu menyulutnya lagi. Asap membumbung ke udara.
“Fadhil menyampaikan protes kepada Allah Swt. ‘Ya Allah, bukankah aku telah melakukan semua yang telah Engkau perintahkan?”
“Betul!” Jawab Allah Swt dengan sangat santai.
“Bukankah aku ini sudah rajin shalat berjamaah di masjid, puasa Ramadhan, puasa sunnah, sedekah, dan sudah aku tunaikan hajiku, apakah Engkau masih akan memasukkan aku ke dalam neraka, wahai Tuhanku?’
Lalu Allah Swt. menjawab dengan tegas “Tempatmu adalah neraka!” Fadhil sang ahli ibadah itu menangis di hadapan Allah Swt. “Malaikaaattt! Giring orang ke dalam neraka. Lemparkan ke dasarnya.”
Aku semakin tertarik mendengarkan cerita paman Rusdi.
“Ketika itu dengan penuh keresahan, Fadhil bertanya kepada Tuhan,” Cerita paman Rusdi begitu dramatis “apakah gerangan kesalahanku dan apa yang sebenarnya harus kulakukan, wahai Tuhanku?”
Dan Tuhan pun menjawab, “Kamu memang rajin ibadah, rajin puasa, rajin shalat berjamaah, rajin ngaji. Tapi semua itu tidak ada artinya bagiku. Ibadah yang kamu lakukan sama sekali tidak berguna bagi kepekaan dirimu sendiri atas orang-orang di sekitarmu. Bukankah orang-orang di sekitarmu itu bagian dari diriku juga?” Fadhil hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ia menunduk tunduk. Lalu Allah melanjutkannya “Tidakkah kau lihat janda muda miskin yang hidup di pojok kampungmu itu? Sudah kuberikan keberlimpahan harta bagimu. Sudah kuberikan kehendak untuk beribadah, sedekah, dan haji kepadamu. Namun semua itu masih kamu abaikan juga. Bukankah sudah kamu baca terus menerus firmanku di dalam al-Qur’an bahwa kamu sebagai seorang laki-laki sudah kuperintahkan beristri lebih dari satu, bukan?”
“Tapiii…tapiii….”
“Tapi apaa, Ha?”
Fadhil gemetar ketakutan.
“Malaikaaaatttt! Cepat lemparkan hambaku ini ke neraka.”
Aku merinding mendengarkan kisah itu diceritakan kembali oleh paman Rusdi. Aku hanya membayangkan, bagaimana ketika paman Rusdi dan paman Iyubenu mendengarkan kisah itu langsung dari tuan guru Joni.
“Di saat-saat mendengar kisah itu. Pamanmu Iyubenu menitikkan air mata. Bahkan ia menangis sampai sesenggukan”.
Nah, pikiranku terus berkembang. Barangkali kisah inilah yang membuat paman Iyubenu begitu sedih dan linglung. Angin malam kian dingin. Asap rokok paman Rusdi masih mengepul. Aku meneguk air putih dari sebuah gelas yang bergambar buah pisang. Kuperhatikan cicak di dinding menjalar ke atap amben rumah besar itu. Di luar terlihat gelap. Obrolan kami terus berlanjut hingga larut malam.
***
Itulah sebuah kisah yang lebih tajam dari pedang. Kisah yang telah membuat seorang laki-laki terluka karenanya. Dan sampai saat ini, kisah-kisah itu terus menerus melukainya.***

Yogyakarta, Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar